Ilustrasi Luna |
Aku tidak tahu betul bagaimana perasaanku terhadapmu, Luna.
Setelah kita saling menyakiti, kamu masih sama. Tenang dan ceria. Aku
tidak yakin bagaimana tentang mencintaimu untuk kedua kalinya.
Kamu bukan yang pertama. Tapi terasa seperti pertama kalinya. Yang
meneriakiku ketika aku hanya bisa diam saja. Memarahiku ketika aku payah.
Namun, disaat yang sama, memelukku agar aku tenang. Memegang tanganku yang
gemetar lalu menariknya dan berlari. Seperti saat ini.
"Ayo Gian, kita melihat bulan," katamu dengan cerianya.
Tepat pukul 10. Aku bersamamu malam ini. Dan aku belum siap menerima
perasaan apapun. Jangan baik terhadapku Luna. Aku ini payah.
"Ayo kita ke puncak sana!" nafasnya tidak teratur sambil
tersenyum. Angin meniup rambutnya. Cantik.
Ia terus mengajakku berlari dan berkata, "nanti bulannya tertutup
awan."
Aku hanya menatap punggungnya. Benar. Ia masih sama. Selalu sama. Dan ia
tampak bisa menjalani hidupnya dengan baik setelah tiga tahun yang lalu.
Kami memasuki gedung bekas yang belum dibangun kembali. Entah jenis
gedung apa yang kami masukki ini, semua bahannya masih beton dan ada tangga
yang berbelok-belok. Juga bebatuan bekas runtuhan.
"Untuk apa ke sini?" aku berhenti sejenak menekan genggamannya
sambil berhenti.
"Aku kan sudah bilang. Kita melihat bulan."
"Dari tadi kita sudah bisa melihatnya, Luna."
"Aku ingin menunjukannya lebih dekat," katanya sederhana.
Dan aku yang payah ini hanya bisa diam tanpa kata apapun. Lalu kakiku
ikut melangkah mengikutinya. Mengapa ia bisa melakukan ini padaku? Membuat
berdebar sejenak tapi sesudahnya lupa. Membuat aku memikirkan dia tapi bosan
setelah penasaranku habis. Tak karuan. Kamu ini siapa?
Dan ia menarikku kembali. Menaiki tangga yang panjang dan berbelok itu.
****
Aku kelelahan sesampainya di atas. Agak kesal juga hanya untuk melihat
bulan lebih dekat. Tapi dia masih saja tersenyum.
"Ke sini!!!!" serunya sambil duduk ke arah depan.
Jujur saja aku menurutinya karena kelelahan. Lalu duduk di sebelah kanannya, tidak dekat.
Aku hanya menunduk. Tidak ada yang istimewa dari bulan itu walaupun jaraknya
sudah agak dekat. Sementara dia terus menatap ke atas seperti orang yang baru
pertama kali melihat bulan.
"Gian, semakin bulannya terang, semakin ia kesepian," ia memulai.
Aku hanya menatapnya tidak mengerti.
"Kamu tahu? Bulan itu sangat penakut dan pemalu, makanya ia
dihadirkan saat malam saja."
"Lalu?" Dia menatapku.
"Lalu setiap keheningannya ia berperang. Semesta menjadi termenung
karena bulan. Langit lebih hitam karena berduka."
Terdiam sejenak.
"Benar kita hanya melihat bulan lebih dekat?"
Kini matanya terbuka lebih lebar, dan suasana menjadi berdebar.
"Menurutmu bagaimana?"
"Kamu bukan hanya ingin menunjukannya. Kamu ingin mengatakan
sesuatu bukan?"