Kotak Pandora (Bagian 1)

By pribadiprita - March 04, 2022

Kotak Pandora Bagian 1


"Mereka lebih takut melihat pantulan dirinya dari mata orang lain daripada mematut pada refleksinya di air yang tenang dan bening." —Unknown.

 

Barangkali ia adalah tukang bohong yang paling andal di seluruh dunia. Gadis pembual yang ia mulai sedari masih kanak-kanak. Bukan, ini bukan kebohongan tentang apa yang kalian bayangkan sekarang. Kebohongan yang lebih rumit daripada sekadar kepergok mencuri buah mangga di depan rumah tetangga lalu menyalahkan teman satunya lagi yang lebih lemah darimu. Atau berkata "tidak ada PR dari sekolah," karena malas mengerjakannya demi bisa bermain, berlarian, atau berdongeng dengan para anak lainnya. Ini kebohongan yang paling menyakitkan, bisa kamu bayangkan? Ia bukan berbohong pada orang lain. Melainkan kepada dirinya sendiri.

***

Sejak menginjak usia setingkat dengan sekolah dasar kelas tiga. Setiap malam, ia selalu memimpikan hal yang tak bisa dijelaskan. Bukan mimpi seorang manusia atau makhluk hidup lainnya. Bukan mimpi sebuah pemandangan, barang atau sesuatu apapun yang biasa manusia normal kenal. Sangat absurd. Seperti menyusun puzzle yang tiada usai di pikirannya. Setelah menyatu, bukan semakin menyusun teka-teki itu. Melainkan menyatu untuk terpecah kembali. Kadang sesuatu itu tumbuh seperti sedang melakukan regenerasi. Terputus dan tumbuh lagi, terus seperti itu. Satu-satunya yang bisa dirasakan saat mendapati mimpi tersebut, tubuhnya terasa linu. Keringat dan keinginan untuk lepas dari mimpi tersebut sangat kuat namun sangat sulit untuk terbangun. Raganya seperti dibagi dua. Setengahnya di alam mimpi, setengahnya lagi di alam nyata.

Tak henti sampai di situ, sebenarnya ia sangat heran. Di waktu yang sama dalam usianya dan mimpi anehnya itu, ia juga semakin gemar mengkhayalkan sesuatu begitu rapih. Ya, bukan khayalan biasa. Layaknya seorang novelis, sebelum berkhayal yang selalu ia lakukam layaknya sebuah ritual sebelum tidur; ia akan melakukan riset atas khayalan tersebut agar terasa nyata. Plot, tempat, nama, karakter, filosofinya, dan lain-lain yang mendukung sebuah cerita; ia ciptakan dalam kepalanya. Ia bisa menjadi sang sutradara atau pun peran utama bahkan seorang pahlawan. Terkadang, khayalan itu memang nyata adanya. Ia tersenyum melebarkan ujung bibirnya. Ia menangis mengeluarkan air matanya. Ia bicara, menggerakan tangannya, mengelus gulingnya. Sangat nyaman berada di atas kasurnya.

Gadis sempat menoleransi tidakannya di usia saat sekolah dasar sampai menengah pertama, sebab masih selalu seperti itu. Namun, semakin dewasa ia teramat sadar bahwa ada yang salah dari dalam dirinya. Entah itu pikiran atau hatinya. Rasanya sanggat mengganjal begitu lama, bertahun-tahun. Seperti memelihara serangga di dalam kepalanya, ritual tersebut bekerja dimulai dari saat ia memejamkan mata dan mematikan lampu kamarnya. Hingga ia sadar, ia bukan menoleransinya. Melainkan mengulur waktu untuk menerima kenyataan.

***

"Apakah ada hal yang membuatmu takut di usia tersebut?" tanya seorang psikiater di sebuah tempat konsultasi di daerah Bandung.

Gadis telah lama berpikir soal ini sebelum ia memutuskan berkonsultasi di usia 22 tahunnya kini. Tak sama seperti khayalannya, ia duduk tepat depan psikiaternya saat itu yang terasa nyata. "Sekolah."

"Apa yang menakutkan dari sekolah?"

Ia gugup sembari mengorek-ngorek kuku jempolnya. Lalu memandang bola mata lawannya.

"Orang dewasa."

Bersambung...


  • Share:

You Might Also Like

0 comments