Gian

By pribadiprita - June 02, 2025

 

Ilustrasi Gian

Cerita sebelumnya : Luna

(Satu hari setelah bertemu Luna sejak 10 tahun lamanya)

Kamu adalah salah satu dari perempuan malang di luar sana, Luna. Rasanya baru kemarin malam aku melihat binar matamu yang penuh harap. Rasa bersalahmu itu tidak akan menutup semua kenangan kita. Ingatlah Luna, aku tidak akan mengalah lagi padamu seperti hari-hari lain yang pernah kita lewati bersama.

***

(10 tahun yang lalu)

"Sahabat petir!" panggilan dari Luna sejak satu kelas dengannya di bangku kelas XI. Entah itu karena ia mengucapkannya dengan bercanda atau memang dia selalu seperti itu. Ia tipikal yang selalu mengejutkanku dengan hal-hal tak terduga, termasuk panggilannya. Dia selalu menyukai rambutku yang keras, karena katanya mirip dengan tokoh kartun Jepang. Dia juga menyukai kacamataku yang tebal karena terlihat lucu. Yang paling anehnya lagi, dia menyukaiku dengan tumpukan buku yang selalu aku bawa. Ya, menurutku itu hal teraneh. Bukankah perempuan menyukai laki-laki yang maco dan tampak pemberani? Aku jadi sedikit merasa menjadi orang aneh karenanya.

“Mengapa kamu memanggilku seperti itu?”
“Kenapa? Imut kan?
Lagi-lagi jawabannya aneh dengan raut wajah yang menggemaskan. “Bukan itu masalahnya, apa kamu punya alasan yang masuk akal hingga memanggilku dengan sebutan aneh itu?”
“Gian, memangnya semua hal harus masuk akal?”
Aku terdiam tidak tahu harus berkata apa lagi. Bukan maksudku seperti itu, tapi entah kenapa aku tidak bisa menjelaskannya pada perempuan ini. “Jadi, kenapa?”
“Kamu harus banyak menonton film, Gian, supaya kamu tahu istilah fiksi, bukan istilah fisika saja kayak bukumu itu.”
Terkadang aku bingung, apakah dia sedang benar-benar menyindirku atau menggodaku. Entah kenapa yang ke berapa kali juga aku hanya diam menyerah. Saat-saat seperti ini, menjadi kesempatannya untuk ia tersenyum menang dengan helaian rambut yang sebagian beterbangan di wajahnya. 
"Jadi, mau nonton film denganku?" katanya menang telak.

***

Akhirnya malam tiba untuk menonton film yang awalnya tidak begitu aku nantikan bersama Luna, entah karena aku terlalu cemas atau hanya payah di depannya. Tapi bagiku hari ini adalah salah satu hari yang akan ku ingat seumur hidupku, bukan film yang ia pilih karena aku pun tak terlalu tertarik. Melainkan hari bersamanya. Nyatanya malah aku yang sangat senang sejak malam ini dimulai. Terkesima memperhatikan ragam ekspresi manisnya, apakah dia seperti itu hanya bersamaku saja? Aku mulai bertanya karena tiba-tiba merasa iri jika ia memberikan ekspresi itu kepada orang lain. Hari dimana hari paling egois bagiku, tiba-tiba juga aku ingin memiliki dan bersamanya setiap saat.
"Kenapa kamu selalu diam, dan selalu aku yang memulai? katanya memelas.
"Memangnya aku harus bilang apa?"
"Apa saja, semua yang kamu pikirkan."
Aku berhenti melangkah sejenak, sehingga ia berada di depanku berbalik menatapku. "Kamu terlalu lama memelihara bulan di kepalamu, Gian. Hingga semua yang ada dipikiranmu tidak bisa kamu sampaikan."
"Lalu, bolehkah kamu menjadi bulanku?"
"Tampaknya kamu memang harus selalu dipancing ya supaya kata-kata keluar dari mulutmu?" katanya sambil tersenyum meledek. "Apakah aku juga harus menerjemahkan apa yang kamu katakan tadi?"
Dengan mata dan jantung yang menggebu-gebu, bibirku seperti ada magnetnya, tanpa ragu aku mencium pipi dinginnya yang diterpa angin malam. "Tahukah kamu bahwa selama malam ini berjalan, aku sangat senang dibandingkan kamu?"
"Aku kesulitan untuk mengutarakannya, apakah menurutmu bulan terlalu banyak di kepalaku? Bisakah kamu ajarkan aku dengan menjadi kekasihku?"
Di waktu yang sama aku bertanya-tanya dalam hati, apakah kali ini aku tepat sasaran layaknya seperti yang selalu ia lakukan kepadaku.

***

(Tepat 10 tahun kemudian, terakhir kali bertemu Luna)

"Tampaknya kamu menumpukkan banyak bulan di kepalamu, Luna"
"Ya, seperti yang aku katakan sebelumnya, setiap keheningannya bulan berperang. Semesta menjadi termenung."
"Siapa yang kau maksud semesta? Bukankah itu dirimu sendiri?"
"Tampaknya kamu sudah jago berkata-kata sekarang, Gian"
"Tak hanya itu, aku juga jadi lebih paham kata-kata orang, termasuk kamu yang sulit dimengerti dan menjadi benar-benar berarti dalam hidupku."
"Sampai aku meninggalkanmu begitu saja?"
"Ya." "Kali ini kamu bukan siapa-siapa, dan aku membencimu"
Ia tersenyum, senyum sedih kelihatannya. "Kita terlalu muda untuk memikirkan sesuatu yang kompleks, Gian, jadi aku memutuskan untuk pergi karena terlalu mencintaimu."
"Haruskah aku mengalah lagi padamu? Kamu selalu menang telak, dan semakin egois untuk menang setelah kita saling memiliki."
"Keputusanmu benar untuk membenciku, Gian"
"Sepertinya kamu paham isi kepalaku."
"Ya sepertinya kau menang telak"
"Itu kenyataannya, Luna"
"Termasuk cintamu lebih besar dari kebencianmu?"
“Yang perlu kau ingat, aku tidak akan memelihara bulan lagi di kepalaku," kataku menelan ludah.
"Sebaliknya, Gian, adalah nama yang akan selalu aku simpan pada tumpukan bulan di kepalaku."




  • Share:

You Might Also Like

0 comments