Memotret kisah pilu didepan mata, masih ingat waktu itu jalan kaki menuju kantor sehabis beli makan siang. Luluh rasanya seorang kakek yang menggendong entah anak, cucu, atau hanya gadis kecil yang mungkin ia temukan dimana saja sambil membawa sapu ijuk dagangannya dan tongkat untuk berjalan. Sedangkan sang gadis berkerudung, sekitar umur 7 tahun mungkin, entahlah aku tidak pandai menaksir angka. Ia menatap slogan dengan kata-kata mewah nan indah diiringi senyuman Pak Gubernur dan wakilnya; "Semua Anak Bisa Sekolah, Semua Anak Bisa Juara." tatapan anak perempuan yang mungkin saat ini memasuki kelas 2 sekolah dasar.
Original image from: pinterest |
Tak apa jika kamu ingin masuk kedalam gua. Itu memang mekanisme pertahanan terakhir para lelaki bukan? Sama sekali aku tidak akan bertanya seberapa dalam dan sepinya di gua sana. Jadi jangan menyuruhku menunggu dengan tabah. Aku bukan senja layaknya para penyair katakan, yang jika kamu keluar dari gua akan menyambut apalagi menerangi gairahmu yang baru. Karena aku pernah menjadi senja. Dan lelaki itu tidak kembali.
Aku menyetel piano dari Frederic Chopin.
Nocturne in C Sharp Minor No. 20
Bukankah kamu dengar itu?
Nada-nada itu adalah ratapan dan amarahku. Partitur yang dibuat musisi itu seakan ciptaan kamus dari mataku.
Kamu bisa membayangkan itu bukan?
Akulah yang menari di atas piano itu. Akan kuberikan tarian terbaik untukmu. Maka dengar dan perhatikanlah. Ini sungguh akan membuatmu menghabiskan seluruh emosimu, Kasih.
Pada ujung tarianku ini, aku akan berbisik pelan pada telinga kananmu. Lalu menyentuh lembut pipimu itu. Perpisahan seharusnya dirayakan agar tidak menimbulkan utang pertanyaan bukan?
Aku masih belum mengenalmu, aku sungguh tidak tahu bagaimana bentuk jari-jarimu. Masih penasaran apa sesungguhnya warna bola matamu? Yang paling aku suka adalah suaramu, namun aku belum paham pada topik yang selalu membawa tubuhmu kepada malam bersama secangkir kopi pahitmu itu setiap hari. Tenang saja, aku tidak menawarkan uluran tangan. Hanya ingin menyentuh sampai kedalam dan pikiranmu saja. Sekadar mendekatkan wajahmu dengan wajahku. Oh ini aromamu. Dan dentingan piano sudah di akhir langkah jari.
Lalu bisa kuucapkan selamat tinggal paling sederhana.
Aku mencintaimu.
Dan kamu pergi sedalam-dalamnya.
Original image from: google |
Kali ini aku bakal mengulas sebuah band luar negeri yang lagi naik daun. Agak "canggung" sebenarnya menyebutkan nama band-nya. Pasti orang yang gak tahu bakal ngomong "ini band apaan sik kok namanya begini," atau bisa jadi nge-judge duluan lagu-lagunya sebelum didengerin. Yap! Nama band ini adalah Cigarettes After Sex atau disingkat CAS. Pertama kali aku tahu tentang band ini dari akun instagramnya @ghyan, dia itu seorang creative film director. Terus ada salah satu video di postingannya, dimana backsound-nya itu pake lagunya Cigarettes After Sex berjudul Dreaming of You. Pertama kali aku dengerin lagu itu adem banget dan bener-bener langsung ngepoin band-nya. Alhasil, aku memutuskan band ini jadi favorite music list aku.
Sebelum mengulas lebih jauh, mari berkenalan dulu sama personel dari musisi asal Texas, USA ini. Dimotori oleh sang vokalis bernama Greg Gonzalez, yang juga memainkan gitar akustik atau elektrik, ia ditemani 3 kawan diantaranya Jacob Tomsky si pemain drum, bass dimainkan oleh Randall Miller, dan Phillips Tubbs sebagai pengalun keyboard. Band ini sudah ada sejak tahun 2008, namun butuh waktu 3 tahun untuk melakukan music demo.
Selanjutnya mereka merilis mini album pertama pada tahun 2012. Lalu ada album dengan judul nama band mereka sendiri pada tahun 2016. Sampai ditahun 2018 mereka merilis dua single berjudul Neon Moon dan Crush.
Dominannya, yang pertama kali akan kalian tanyakan adalah "Kenapa sih nama band-nya harus itu?" Aku pun gak begitu tahu sejarah rincinya kayak gimana. Tapi ada sebuah wawancara dari Vogue.fr yang menyebutkan bahwa nama band ini spontan aja terpikirkan oleh Greg saat berkencan dengan seorang perempuan. "I think it was around 2008, I was dating this girl and she got me into smoking after we were together. I loved sharing that moment with her. Then one night we were smoking together and the name flashed in my mind."
Lalu apakah lagu-lagunya menceritakan tentang sex? Not at all I think. Kalau kalian denger setidaknya satu lagu dari band ini, alunan musiknya bikin galau, agak sendu gitu, dan I recommend this kind of music when it rains seriously. Utamanya buat kalian penggemar musik sejati, lagu-lagunya itu membawa kita pada posisi "trance". Setidaknya kalian akan menggoyangkan kepala atau membuat suara dari jari-jari kalian mengikuti irama musiknya. Bener-bener mengasah perasaan dan pikiran kalian banget dengan aransemennya yang minimalis. Dan kalau kalian lihat liriknya itu bermakna banget karena lagu-lagunya menceritakan sebuah hubungan antar manusia yang pernah orang lain rasakan tapi dikemas dengan kalimat yang begitu puitis. "About relationship and people I knew," kata Greg di sesi wawancara yang sama.
So, apa yang membuat aku suka sama Cigarettes After Sex? Menurut aku, segala hal tentang band ini sangatlah romantis. Mulai dari aransemennya, liriknya, genre, dan androgynous voice dari Greg. Yap! Kalau kalian denger lagunya dengan full pasti kalian akan kebingungan penyanyinya ini cewek atau cowok ya? Bahkan tebakan kalian pasti spontan akan jawab ini cewek! Tapi itu salah besar, Greg ini cowok tulen yang punya vokal cenderung berbisik dan bernafas berat. Dia punya suara androgynous yang artinya mempunyai karakter suara yang maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Hal itu seringkali membuat pendengar salah paham tentang identitasnya. Tapi menurut aku ini salah satu daya tarik dari Cigarettes After Sex yang bikin orang-orang suka banget.
Lebih lanjut, jenis musik yang dianut oleh Cigarettes After Sex adalah dream pop/ shoegaze/ amient pop/ slowcore. Pernah gak kalian mendengar alunan distorsi musik yang bisa membawa kalian kedalam perasaan riang tapi galau? Itulah inti dari jenis musik band ini. Liriknya itu bersifat rapuh dan depresif. Suasana dari musiknya juga tenang tapi terdapat emosi-emosi yang meledak, gelap tapi indah. Cocok banget buat orang-orang introvert. Biasanya black and white menjadi imej dari band dengan penganut jenis musik ini.
Sesuai dengan jenis musiknya, bahkan melodi yang diciptakan oleh band ini sangatlah romantis! Jadi walaupun aku denger lagu-lagu CAS tanpa tahu liriknya sama sekali itu masih bisa dinikmati dan mendalami si lagu itu sendiri. Bleak lyrics, downbeat melody, slower tempos, quit and calm. Itu yang bikin bener-bener romantis dari CAS.
Teruntuk kalian yang suka sama jenis musik ini, aku sangat merekomendasikan band CAS. Dan kalau ditanya lagu yang paling enak dari CAS itu apa? Jujur aku gak punya semacam rekomendasi lagu dari band ini karena menurut aku lagu-lagunya enak semua. Tapi sekarang ini aku lagi play and repeat lagu I'm a Firefighter karena aku suka sama alunan musiknya dan ada part dimana suara falsetto dari Greg yang bikin aku melted banget dimulai dari menit kedua tepatnya 2 menit lebih 8 detik.
Buat kalian yang udah dengerin lagu-lagunya CAS, lagu apa nih yang lagi kalian play and repeat?
Bila senja datang, kamu tak siap menyaksikan jingganya tenggelam. Ah! Malam siap datang, menyuruh semua orang untuk pulang. Dan kamu selalu kecewa setiap langit berganti. Tidak bisa berdansa bebas dengan angin sepoy. Tak bisa bermain dengan matahari yang sedang cantik-cantiknya. Bahkan membubarkan siapa saja yang sedang asyik berfoto di tepi pantai.
Namun,
Kau tahu? Malam selalu berusaha agar ia dirindukan seperti senja. Tapi malam tetaplah malam. Biru tetaplah hanya biru. Setiap harinya memohon tidak menyuruhnya berubah menjadi jingga.
Kau tahu? Malam tidak selalu gelap sayang. Tak usah hiraukan saja warnanya. Suatu hari, kamu akan rindu pada sunyinya malam. Kamu bisa memilih seolah menjadi bintang atau bulan.
Dan,
Setiap detik menuju malam, senja yang maha ramah berpesan: aku akan tiba setiap petang, memotong alam dan mengubah ronanya agar kamu tidak merasa bosan.
Matahari kali ini lebih kuning, sinarnya menjadi lebih terang. Saat berjalan menuju kuburan itu, dalam hati orang dewasa berduka. Ada duka yang dijaga sejak lama. Para paman pun siap memimpin baca do'a disana.
Bapak juga begitu. Dalam hatinya bersorak, berjalan membawa buku hitam. Sesampainya, jongkok di tanah dengan wangi yang khas depan keramik warna merah tua. Terlihat ragam bunga sudah tertabur diatasnya. Angin pun turut berhembus kencang, namun kali ini terasa amat lembut.
"Do'akan bapak aki, emak enin, aki dan enin di Cianjur juga."
"Jangan meminta, tapi doakan," suara Bapak bergetar.
Lembar demi lembar Bapak bacakan do'anya. Memerah mata dan hidungnya. Semakin terdengar getaran suaranya. Ini kali pertama aku turut merasakan sedihnya Bapak. Aku juga tidak pernah menangis. Tampaknya tahun-tahun sebelumnya Bapak tidak pernah segemetar ini. Mungkin karena Bapak Aki berpulang belum lama ini. Atau mungkin aku baru menyadarinya seiring aku tumbuh dewasa? Entahlah. Memang orang dewasa itu memiliki kerumitan hatinya sendiri. Cukup unik bukan menjadi orang dewasa? Dan mataku kini berkaca-kaca.
Cukup lama disini, angin terasa lebih kencang. Tetap lembut, aku rasa. Terlihat dari dedaunan yang goyang. Aroma tanah menjadi lebih tercium. Buku hitam yang dipegang Bapak pun sudah mencapai lembar tengahnya. Nafasnya sangat sesak.
***
Angin tidak berhembus lagi. Para daun itu diam tampak tenang. Aku lihat ke arah Bapak, ternyata hampir selesai ia membacakan do'a. Saat ini aku merasakan keheningannya. Tak lama, Bapak menutup bukunya. Menyadari bahwa hening telah memeluk kita semua yang berduka. Tersirat dari mata yang kian memerah.
Semua orang yang berada di sisi para paman itu turut terluka. Amat terluka melihat mata duka yang kehilangan. Kau juga tahu, tak ada yang lebih sunyi dari mata seseorang yang kehilangan bukan?
"Baik kalau tidak ada pertanyaan, sampai sini saja pelajaran hari ini. Sampai jumpa minggu depan," kata Bapak profesor yang sedari tadi duduk seorang diri di depan. Akhirnya ia keluar dari ruang kelas, dan spontan para mahasiswa menggerakan tubuhnya. Entah itu memutarkan sedikit tubuh untuk peregangan punggung, menarik kedua tangan sambil berdiri jinjit, membunyikan tulang jemari, bahkan bersorak sorai seperti negara yang baru saja merayakan kemerdekaan setelah peperangan yang melelahkan. "Bebaaaaaaassss!!!!" Aku hanya tersenyum sedikit melihat ragam tingkah mereka. Sementara aku membereskan buku-bukuku di atas meja. Ada buku Sapardi Djoko Damono, Puthut EA, dan John Gray. Hehe. Iya bukan buku mata kuliahku. Sama sekali.
"Eh duluan ya."
"Kemana woy?"
"Balik," sambil melayangkan telapak tangan kanan.
"Kantin dululaaah," mengangkat tangannya juga mengadu telapak tanganku.
"Balik ah tidur. Hahaha," kataku asal jawab.
Aku turun melewati tangga 1 lantai. Bermodalkan baju kaus monochrome, celana jeans, tas yang tidak besar tidak pun kecil, dan flat shoes yang itu-itu saja; aku memeluk buku-buku tadi sambil mengeluh. "Hffff, makin sini kuliah makin membosankan. Atau memang hidupku yang membosankan?"
Tapi aku tak sekhawatir itu memikirkan mengapa hidupku begini. Konon katanya ini adalah bagian dari siklus menjadi seorang mahasiswa. Semester awal mereka sangat bersemangat bahkan serasa bergaya karena akhirnya tidak akan memakai baju putih atau batik yang seragam. Ya sesederhana itu, tentu itu hanya salah satu alasannya! Semester kedua katanya mereka sedang menikmati. Mereka dapat memilih untuk menjadi mahasiswa jenis apa. Mau jadi kura-kura (kuliah rapat), kupu-kupu (kuliah pulang), atau kunang-kunang (kuliah nangkring). Semester ketiga, ya beginilah. Mulai bosan dan tidak bergairah. Lebih parahnya lagi semester terakhir yang nanti akan aku jalani. Untuk semester terakhir ini aku gak mau kasih bocorannya. Biar kalian cari sendiri saja. Toh, aku juga belum merasakan.
Aku sudah sampai di lantai dasar lalu jalan kaki untuk menempuh jalan raya. Kata kampusku, jalan kaki itu lebih baik. Motor juga tidak boleh lalu lalang, harus parkir di lapangan besar yang sudah ditempatkan. Tapi tampaknya tidak untuk pembawa roda empat, boleh lalu lalang di semua jalanan kampus. Mungkin karena kendaraannya yang lebih lebar disediakan tempat parkir lebih banyak jadi boleh kemana saja. Eksklusif memang. Gapapa, jalan kaki lebih sehat kan mpus?
Membutuhkan waktu sekitar 10 menit dari gedung fakultas ke gerbang atas kampus. Aku naik angkutan kota untuk pulang ke rumah. Hanya menghabiskan waktu 5 menit di dalam angkot. Sisa 10 menit untuk berjalan kaki ke komplek. Sebenarnya ada cara praktis untuk sampai rumah. Ada 2 cara. Pertama, dengan cara pesan kendaraan online. Kedua, pakai angkot terus turun lebih lama (sekitar 1 menit) lalu naik ojek pangkalan di komplek.
Gapapa. Jalan kaki itu sehat kan? Lagi-lagi memuji diri sendiri. Ya pokoknya aku pengin saja jalan kaki, menghabiskan waktu karena kuliah selesai dengan cepat, dan hitung-hitung juga berolahraga.
***
Aku kaget melihat waktu yang tergantung di dinding tepat di depan saat aku membuka mata. "Kenapa udah jam segini?" melihat jarum jam dinding menghadap ke kanan bawah. Jam 5 sore. Sambil hujan.
Aku berpikir. "Wahhh padahal aku berkata asal saat aku bilang mau tidur," kataku menggelengkan kepala mengingat perkataan tadi siang.
Segera aku menyegarkan muka. Lalu menyeduh sedikit air teh sebagai penenang menemani hujan yang turun. Sambil duduk di kursi depan kaca yang lebar, hanya memandangi air yang mengalir disana.
***
Keseharianku berjalan secara konstan dan membosankan seperti itu. Hari-hari selanjutnya tampak sama bagiku. Tidak ada yang spesial. Lalu pada suatu sore yang lain, aku melihat-lihat galeri di gawaiku. Menemukan foto lama. Dua tahun lalu aku mengabadikan kaset yang aku beli. Bahkan aku membeli sesuatu yang lagunya belum aku suka. Belum tahu lebih tepatnya. Bukan untuk aku soalnya.
Aku mengabadikan kaset itu dengan 3 versi. Satu, memegang kaset yang dilayangkan di depan dinding putih. Dua, sama dengan versi pertama namun kini dibungkus kertas warna hitam polos ditambah tali rotan yang membentuk pita ditengahnya. Tiga, mengambil angle atas menjajarkan kaset dan botol kecil yang dimasukan beberapa gulungan kertas, lalu ada kertas persegi panjang yang digulung sebagai ungkapan selamat ulang tahun dan beberapa kata harapan pribadi dariku. Semua itu terbungkus dalam satu kotak berwarna merah tua.
Setelah dipikir-pikir, agak memalukan juga membungkus sesuatu seperti itu. Kadang aku menyesal juga. Ya salah satunya karena betapa memalukannya. Tapi yang kebih ngenes lagi, mengapa aku memberikan kaset macam itu?
Memandang galeriku lebih lama dari biasanya, lalu muncul perasaan aneh. Seperti terpaku dan lebih terasa hening kali ini. Membuat pikiran mengeluarkan cabangnya ke mana saja.
***
Kini bagiku, kaset itu seperti sebuah kutukan. Padahal aku memilih hadiah itu dengan asal. Padahal itu yang terakhir kalinya. Yang paling mengherankan kenapa aku memberi kaset dengan nama Tempat Aku Pulang? Tentu saja tanpa sadar. Mau diberitahu apa lagi yang lebih parah? Bahkan aku memberi kaset itu dengan harapan aku bisa melupakan, tapi hadiah itu mengarah sebaliknya. Iya, kaset itu terasa sebagai kutukan dalam hidupku selama 2 tahun sejak memberikannya.
Aku baru tersadar, memberi hadiah itu adalah kesalahpahamanku sendiri. Aku kira kaset itu akan menjadi penutup luka. Bahkan siapnya aku ini benar-benar sebuah kesalahan. Tanpa aku sadar kaset itu membuat aku semakin erat. Serupa dengan namanya. Tempat aku pulang, adalah definisi lelaki itu. Biar aku singgah ke rumah mana dan pada tuan siapa. Kau adalah pulangnya.
Berbeda dengan sore lain, kali ini tiada hujan yang turun membasahi tanah atau kaca yang biasa aku tatap. Sebagai gantinya (akibat dari kutukannya) kini hujan mengalir ke jantungku. Raga mulai membiru.
Kepada malam,
Sepertinya hari ini akan terasa sangat panjang. Maka kembali tidur rupanya jadi jalan terbaik daripada berharap-harap pada mata yang sudah mulai sayu. Daripada lelah bergulat dengan perasaan dan pikiran yang percuma.
***
Sangat kusut. Definisi aku.
Berharap ada yang mencabut.
(terinspirasi dari Kusut - Fourtwnty)
Tamat.
Sahur hari ke-2, bangun dengan mata sipit, rambut secuil terikat dan sisanya berantakan berkat tadi malam tidak melepas ikat rambutku yang satu-satunya. Seperti biasa; meja makan selalu ada teh manis panas dan susu. Teh manis panas untuk diminum sebelum makan. Sedangkan susu diminum sesudah makan, lebih tepatnya mepet ke imsak. Itu bukan aturan sih, hanya saja tanpa sadar menjadi kebiasaan karena disediakan dua jenis minum itu.
"Ishhhh panas," spontanku saat minum teh.
"Tiup dulu, rusak kena gigi," ujar Ayahku seperti biasa, harus selalu menjaga gigi anaknya dengan baik.
Sip. Balasku dalam hati. Lalu memutar tubuhku; baru aku ke kamar mandi untuk cuci muka, sikat gigi, dan cuci tangan. Setelahnya hidangan di meja makan aku ambil alih ke piring.
***
5.00 AM
Biasanya aku sudah tidur lagi sebelum jam 5. Yang membuat mengganggu kepalaku adalah sebuah hadiah ulang tahun. Hadiah apa yang bisa aku berikan untuknya. Untuk seseorang yang nantinya tinggal dikenang. Sudah lewat sih tanggal ulang tahunnya. Namun bersikeras untuk memberi kado terakhir kalinya, pada tahun ini. Lalu aku ingat sebuah lagu. "Mungkin dia akan suka?" kataku berbicara sendiri. "Kalau aku biasa aja, berarti dia suka!". Ngoceh sendiri lagi dengan berbagai asumsi yang ngambang. Ya, aku memang punya selera yang berbeda dengannya. Bahkan bisa dibilang minat dan bakat pun sangat jauh berbeda. Aku tidak tahu yakin kesamaan kami apa. Mungkin kami sama-sama punya semacam sense of sensitivity. Sangat puitis bukan? Haha. Lagi-lagi berasumsi.
Oke aku ingin mulai berpikir sekarang. Aku ambil handphone-ku. "Apa iya aku kasih itu aja ya?". Ada satu lagu yang terngiang di kepalaku. Lagunya enak. Jadi aku semacam ketularan gitu sama satu lagu. Awalnya gak tahu itu lagu apa dan siapa. Cuma akhir-akhir ini, teman rumahku lagi sering aja ngomongin dan nyanyi lagu-lagunya penyanyi itu yang memang lagi happening banget. Penyanyinya sangat puitis, para pemuda banyak yang menggilai kata-katanya. Dan yang pernah aku dengar, kebetulan penyanyi itu baru mengeluarkan album barunya tahun ini. Jadi pas-lah ya untuk dijadikan sesuatu yang pantas dibungkus. Itu yang aku pikirkan. Sebenarnya aku tak begitu tahu dia akan suka atau tidak. Gak tahu kenapa aku hanya ingin memberi itu. "Bodo amatlah, aku akan beli kaset ini saja". Aku mulai browsing mencari tahu toko mana yang menjual kaset itu. Karena ini musik indie, gak mungkin bisa dengan mudah beli di mall, pinggiran pasar, atau toko kaset lainnya yang biasa kita lihat.
toko yang jual album fiersa besari di bandung
Lalu aku klik simbol 'lup' yang ada di pinggir kanan.
***
Yap! Dapat. Akhirnya setelah mencari cukup lama di aplikasi browser hp-ku, aku menemukan toko yang menjual kaset itu, di Jl. Sunda.
"A, besok anter ke Jl. Sunda," kataku, kebetulan kakakku ada di depan jendela kamar.
"Ngapain?"
"Beli kaset."
"Kaset?" terheran-heran.
"CD maksudnya CD, elah," abisnya enak nyebut kaset daripada CD.
"CD apaan?"
"Ya ada aja, kepo banget."
"Yehhhh, kapan?"
"Besok ajalah."
"Hmm," jawab kakakku tanda oke.
***
Keesokannya harinya, sesuai rencana kemarin subuh. Aku dan kakak laki-lakiku ini membeli kaset, CD ya maksudku. Dia yang mengarahkan jalannya. Kebetulan dia juga tahu toko mana saja yang menjual kaset indie. Secara dia punya selera yang lumayan tinggilah untuk penggemar musik.
Motornya berhenti di salah satu toko yang kecil. Tapi cukup banyak orang. Dominan lelaki. Lalu aku masuk duluan ke toko itu, dan benar saja kaset itu ada di tempat ini. Tak usah mencari sampai berjam-jam. Bahkan satu menit pun tidak. Aku ambil kaset ini di rak yang tidak jauh dengan pintu masuk.
"Kok langsung nemu sih, agak awkward juga baru masuk terus keluar," ucapku dalam hati. Lalu aku sok sok pilih kaset ala-ala ngerti musik indie. Setelah nunggu beberapa menit, baru saja aku ke kasir untuk segera bayar. Sudah malam juga, aku ingin cepat pulang.
"Ini mas," mengangkat tanganku ke meja kasir memberikan kaset kotak itu. 'Tempat Aku Pulang'. Nama albumnya.
Bersambung...