Ziarah

By pribadiprita - June 15, 2018

klipingsastra.com

Matahari kali ini lebih kuning, sinarnya menjadi lebih terang. Saat berjalan menuju kuburan itu, dalam hati orang dewasa berduka. Ada duka yang dijaga sejak lama. Para paman pun siap memimpin baca do'a disana.

Bapak juga begitu. Dalam hatinya bersorak, berjalan membawa buku hitam. Sesampainya, jongkok di tanah dengan wangi yang khas depan keramik warna merah tua. Terlihat ragam bunga sudah tertabur diatasnya. Angin pun turut berhembus kencang, namun kali ini terasa amat lembut.
"Do'akan bapak aki, emak enin, aki dan enin di Cianjur juga."
"Jangan meminta, tapi doakan," suara Bapak bergetar.

Lembar demi lembar Bapak bacakan do'anya. Memerah mata dan hidungnya. Semakin terdengar getaran suaranya. Ini kali pertama aku turut merasakan sedihnya Bapak. Aku juga tidak pernah menangis. Tampaknya tahun-tahun sebelumnya Bapak tidak pernah segemetar ini. Mungkin karena Bapak Aki berpulang belum lama ini. Atau mungkin aku baru menyadarinya seiring aku tumbuh dewasa? Entahlah. Memang orang dewasa itu memiliki kerumitan hatinya sendiri. Cukup unik bukan menjadi orang dewasa? Dan mataku kini berkaca-kaca.

Cukup lama disini, angin terasa lebih kencang. Tetap lembut, aku rasa. Terlihat dari dedaunan yang goyang. Aroma tanah menjadi lebih tercium. Buku hitam yang dipegang Bapak pun sudah mencapai lembar tengahnya. Nafasnya sangat sesak.

***

Angin tidak berhembus lagi. Para daun itu diam tampak tenang. Aku lihat ke arah Bapak, ternyata hampir selesai ia membacakan do'a. Saat ini aku merasakan keheningannya. Tak lama, Bapak menutup bukunya. Menyadari bahwa hening telah memeluk kita semua yang berduka. Tersirat dari mata yang kian memerah.

Semua orang yang berada di sisi para paman itu turut terluka. Amat terluka melihat mata duka yang kehilangan. Kau juga tahu, tak ada yang lebih sunyi dari mata seseorang yang kehilangan bukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments