Kaset: Sebuah Kutukan (Bagian 2)

By pribadiprita - May 02, 2018

pinterest.com


2017

"Baik kalau tidak ada pertanyaan, sampai sini saja pelajaran hari ini. Sampai jumpa minggu depan," kata bapak profesor yang sedari tadi duduk sendiri di depan. Akhirnya ia keluar dari ruang kelas, dan spontan para mahasiswanya menggerakan tubuhnya. Entah itu memutarkan sedikit tubuhnya untuk peregangan punggung, menarik kedua tangan sambil berdiri jinjit, membunyikan tulang jemari, bahkan bersorak sorai seperti negara yang baru saja merayakan kemerdekaan setelah peperangan yang melelahkan. "Bebaaaaaaassss!!!!" Aku hanya tersenyum sedikit melihat ragam tingkah mereka. Sementara aku membereskan buku-bukuku di atas meja. Ada buku Sapardi Djoko Damono, Puthut EA, dan John Gray. Hehe. Iya bukan buku mata kuliahku. Sama sekali.
"Eh duluan ya."
"Kemana woy?"
"Balik kali," sambil melayangkan telapak tangan kanan.
"Kantin dululaaah," mengangkat tangannya juga mengadu telapak tanganku.
"Balik ah tidur. Hahaha," kataku asal jawab.

Aku turun melewati tangga 1 lantai. Bermodalkan baju kaus belang, celana jeans, tas yang tidak besar tidak pun kecil, flat shoes warna hitam, dan jilbab yang itu-itu saja; aku memeluk buku-buku tadi sambil mengeluh. "Hffff, makin sini kuliah makin membosankan. Atau memang hidupku yang membosankan?"

Tapi aku tak sekhawatir itu memikirkan mengapa hidupku begini. Konon katanya ini adalah bagian dari siklus menjadi seorang mahasiswa. Semester awal mereka sangat bersemangat bahkan serasa bergaya karena akhirnya tidak akan memakai baju putih atau batik yang seragam. Ya sesederhana itu, tentu itu hanya salah satu alasannya! Semester kedua katanya mereka sedang menikmati. Mereka dapat memilih untuk menjadi mahasiswa jenis apa. Mau jadi kura-kura (kuliah rapat), kupu-kupu (kuliah pulang), atau kunang-kunang (kuliah nangkring). Semester ketiga, ya beginilah aku. Mulai bosan dan tidak bergairah. Lebih parahnya lagi semester terakhir yang nanti akan aku jalani. Untuk semester terakhir ini aku gak mau kasih bocorannya. Biar kalian cari sendiri saja. Toh, aku juga belum merasakan.

Aku sudah sampai di lantai dasar lalu jalan kaki untuk menempuh jalan raya. Kata kampusku, jalan kaki itu lebih baik. Motor juga tidak boleh lalu lalang, harus parkir di lapangan besar yang sudah ditempatkan. Tapi tampaknya tidak untuk pembawa roda empat, boleh lalu lalang di semua jalanan kampus. Mungkin karena kendaraannya yang lebih lebar disediakan tempat parkir lebih banyak jadi boleh kemana saja. Eksklusif memang. Gapapa, jalan kaki lebih sehat kan mpus?

Membutuhkan waktu sekitar 10 menit dari gedung fakultas ke gerbang atas kampus. Aku naik angkutan kota untuk pulang ke rumah. Hanya menghabiskan waktu 5 menit di dalam angkot. Sisa 10 menit untuk berjalan kaki ke komplek. Sebenarnya ada cara praktis untuk sampai rumah. Ada 2 cara. Pertama, dengan cara pesan kendaraan online. Kedua, pakai angkot terus turun lebih lama (sekitar 1 menit) lalu naik ojek pangkalan di komplek. 

Gapapa. Jalan kaki itu sehat kan? Lagi-lagi memuji diri sendiri. Ya pokoknya aku pengin saja jalan kaki, menghabiskan waktu karena kuliah selesai dengan cepat, dan hitung-hitung juga berolahraga.


***


Aku kaget melihat waktu yang tergantung di dinding tepat di depan saat aku membuka mata. "Kenapa udah jam segini?" melihat jarum jam dinding menghadap ke kanan bawah. Jam 5 sore. Sambil hujan.

Aku berpikir. "Wahhh padahal aku berkata asal saat aku bilang mau tidur," kataku menggelengkan kepala mengingat perkataan tadi siang.
Segera aku menyegarkan muka. Lalu menyeduh sedikit air teh sebagai penenang menemani hujan yang turun. Sambil duduk di kursi depan kaca yang lebar, hanya memandangi air yang mengalir disana.


***


Keseharianku berjalan secara konstan dan membosankan seperti itu. Hari-hari selanjutnya tampak sama bagiku. Tidak ada yang spesial. Lalu pada suatu sore yang lain, aku melihat-lihat galeri di gawaiku. Menemukan foto lama. Dua tahun lalu aku mengabadikan kaset yang aku beli. Bahkan aku membeli sesuatu yang lagunya belum aku suka. Belum tahu lebih tepatnya. Bukan untuk aku soalnya.

Aku mengabadikan kaset itu dengan 3 versi. Satu, memegang kaset yang dilayangkan di depan dinding putih. Dua, sama dengan versi pertama namun kini dibungkus kertas warna hitam polos ditambah tali rotan yang membentuk pita ditengahnya. Tiga, mengambil angle atas menjajarkan kaset dan botol kecil yang dimasukan beberapa gulungan kertas, lalu ada kertas persegi panjang yang digulung sebagai ungkapan selamat ulang tahun dan beberapa kata harapan pribadi dariku. Semua itu terbungkus dalam satu kotak berwarna merah tua.

Setelah dipikir-pikir, agak memalukan juga membungkus sesuatu seperti itu. Kadang aku menyesal juga. Ya salah satunya karena betapa memalukannya. Tapi yang kebih ngenes lagi, mengapa aku memberikan kaset macam itu? 

Memandang galeriku lebih lama dari biasanya, lalu muncul perasaan aneh. Seperti terpaku dan lebih terasa hening kali ini. Membuat pikiran mengeluarkan cabangnya ke mana saja.

***

Kini bagiku, kaset itu seperti sebuah kutukan. Padahal aku memilih hadiah itu dengan asal. Padahal itu yang terakhir kalinya. Yang paling mengherankan kenapa aku memberi kaset dengan nama Tempat Aku Pulang? Tentu saja tanpa sadar. Mau diberitahu apa lagi yang lebih parah? Bahkan aku memberi kaset itu dengan harapan aku bisa melupakan, tapi hadiah itu mengarah sebaliknya. Iya, kaset itu terasa sebagai kutukan dalam hidupku selama 2 tahun sejak memberikannya.

Aku baru tersadar, memberi hadiah itu adalah kesalahpahamanku sendiri. Aku kira kaset itu akan menjadi penutup luka. Bahkan siapnya aku ini benar-benar sebuah kesalahan. Tanpa aku sadar kaset itu membuat aku semakin erat. Serupa dengan namanya. Tempat aku pulang, adalah definisi lelaki itu. Biar aku singgah ke rumah mana dan pada tuan siapa. Kau adalah pulangnya.

Berbeda dengan sore lain, kali ini tiada hujan yang turun membasahi tanah atau kaca yang biasa aku tatap. Sebagai gantinya (akibat dari kutukannya) kini hujan mengalir ke jantungku. Raga mulai membiru.

Kepada malam,
Sepertinya hari ini akan terasa sangat panjang. Maka kembali tidur rupanya jadi jalan terbaik daripada berharap-harap pada mata yang sudah mulai sayu. Daripada lelah bergulat dengan perasaan dan pikiran yang percuma.

***

Sangat kusut. Definisi aku.
Berharap ada yang mencabut.
(terinspirasi dari Kusut - Fourtwnty)

Tamat.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments