Original image from: pinterest |
Tak apa jika kamu ingin masuk kedalam gua. Itu memang mekanisme pertahanan terakhir para lelaki bukan? Sama sekali aku tidak akan bertanya seberapa dalam dan sepinya di gua sana. Jadi jangan menyuruhku menunggu dengan tabah. Aku bukan senja layaknya para penyair katakan, yang jika kamu keluar dari gua akan menyambut apalagi menerangi gairahmu yang baru. Karena aku pernah menjadi senja. Dan lelaki itu tidak kembali.
Aku menyetel piano dari Frederic Chopin.
Nocturne in C Sharp Minor No. 20
Bukankah kamu dengar itu?
Nada-nada itu adalah ratapan dan amarahku. Partitur yang dibuat musisi itu seakan ciptaan kamus dari mataku.
Kamu bisa membayangkan itu bukan?
Akulah yang menari di atas piano itu. Akan kuberikan tarian terbaik untukmu. Maka dengar dan perhatikanlah. Ini sungguh akan membuatmu menghabiskan seluruh emosimu, Kasih.
Pada ujung tarianku ini, aku akan berbisik pelan pada telinga kananmu. Lalu menyentuh lembut pipimu itu. Perpisahan seharusnya dirayakan agar tidak menimbulkan utang pertanyaan bukan?
Aku masih belum mengenalmu, aku sungguh tidak tahu bagaimana bentuk jari-jarimu. Masih penasaran apa sesungguhnya warna bola matamu? Yang paling aku suka adalah suaramu, namun aku belum paham pada topik yang selalu membawa tubuhmu kepada malam bersama secangkir kopi pahitmu itu setiap hari. Tenang saja, aku tidak menawarkan uluran tangan. Hanya ingin menyentuh sampai kedalam dan pikiranmu saja. Sekadar mendekatkan wajahmu dengan wajahku. Oh ini aromamu. Dan dentingan piano sudah di akhir langkah jari.
Lalu bisa kuucapkan selamat tinggal paling sederhana.
Aku mencintaimu.
Dan kamu pergi sedalam-dalamnya.