Art

Den Kisot, Pahlawan Kesiangan yang Suka Mengkhayal

By pribadiprita - November 17, 2019

picimon.com

Kamis (26/09) malam tiba di NuArt Sculpture Gallery daerah Setraduta Bandung, akan menonton pertunjukan boneka bertitel Den Kisot. Pertama kali tiba, seperti biasa dalam pertunjukan pada umumnya—diberikan selembar pengenalan tentang Den Kisot dengan warna mencolok kuning terang, lalu ada gambar tokoh Den Kisot yang menghabiskan seluruh lembar kertas dengan perawakan yang terkesan gagah dan bijak. Juga diberi stiker NuArt sebagai tanda tiket masuk. Di ruang terbuka—gelap, sementara dikelilingi pohon dan karya seni dari Nyoman, sudah disiapkan tempat duduk dan karpet sekotak untuk alas duduk lesehan, di depannya sudah ada wayang beserta dalangnya, komplet dengan pemain musiknya pula. Pertunjukan ini dimulai sekitar pukul 8 malam, lebih lambat dari yang telah dijadwalkan, namun menunggu beberapa menit itu ternyata terbayar dengan kisah yang apik dari Den Kisot yang penuh tawa tapi tetap dramatis dan puitis.

Diawali dengan novel berbahasa Spanyol karya Miguel de Cervantez tahun 1605, ini pertama kalinya kisah tersebut diadaptasi menjadi sebuah pertunjukan boneka atau wayang berbahasa Indonesia dengan nuansa Pasundan.

Kisah ini menceritakan seorang lelaki tua yang gila membaca dengan segudang buku di kamarnya, buku yang paling ia sukai yaitu tentang kepahlawanan. Maka dari itu dengan ciri khas khayalan dan patriot tingginya, ia menciptakan dirinya sebagai seorang pahlawan bernama Den Kisot La Mancha yang artinya Pangeran Kisot dari desa La Mancha. Ia mengajak seorang petani bernama Sancho Panza untuk mengikuti jalannya melakukan perjuangan negeri ini. Yang paling aku ingat dari percakapan mereka adalah, saat Sancho bertanya apa dan kepada siapa kita harus melakukan perlawanan? Lalu sang pangeran ini menjawab, "Aku melawan apa saja yang tidak adil." Dengan janji akan menjadikan Sancho sebagai gubernur tanpa pendidikan tinggi, tanpa modal lembaran duit—akhirnya bapak petani ini mau mengikuti kelananya dengan kuda yang selalu ditunggangi Den Kisot itu, Roki namanya, nama asli Spanyolnya adalah Rocinante.

Semua menganggap bahwa Den Kisot ini majenun, artinya sinting atau sudah gila. Dia menciptakan cerita dan tokoh berdasarkan imajinasi yang tidak terpikirkan oleh orang normal. Hingga pada suatu hari Den Kisot melihat sebuah raksasa yang akan mengancam suatu desa lain, padahal Sancho, sebagai orang bodoh namun tetap normal—membenarkan bahwa itu bukan raksasa melainkan kincir angin. Namun si majenun tua ini masih belum bisa memahami bahwa khayalannya lebih kuat daripada realitasnya. Pada hari yang lain—kali ini benar-benar bukan khayalannya, Den Kisot diserang oleh Ksatria Bulan Putih yang dikirim oleh pendeta dari desanya untuk menghentikan aksi Den Kisot yang gila itu. Pendeta dari gereja desa La Mancha selalu menganggap lelaki tua itu seorang kafir karena lebih mempercayai buku-bukunya sehingga ia pulalah yang membakar buku-buku 'berbahaya' itu. Setelah mereka berdua berperang, akhirnya Den Kisot berhasil dikalahkan. Sancho seperti biasa tetap setia menemani Den Kisot selama sakitnya. Lalu datanglah seorang wanita yang membantu merawat Den Kisot, entah siapa nama dan darimana datangnya, Den Kisot menganggap wanita itu bidadari, mahadewi, cantik tiada tara, hingga ia menamakan wanita itu secara sembarang, "Dulcinea namanya, dia adalah Dulcinea-ku." Jatuhlah hati sang patriot kepada Dulcinea. "Tapi dia itu berbeda dengan kita, Den. Dia beragama islam, dia itu kafir kata pendeta," tanggap Sancho. "Tidak Sancho, bahkan pada agama mereka pun kita juga kafir," lawan Den Kisot.

Jatuh hatinya Den Kisot, sampai kepada pintu istana bangsawan yang mahakaya. Mereka mencari Dulcinea dengan menemui bangsawan daerah sana. Bangsawan dan bangsawati ini menganggap mereka orang yang menarik namun tetap memandang bodoh, hingga mengabulkan impian Sancho, "Kamu akan kujadikan gubernur," kata Bapak bangsawan. Disusul dengan keinginan Den Kisot, bangsawan berkata bahwa Dulcinea benar adanya, namun untuk menemuinya adalah hal yang tidak mudah. Den Kisot diberi tantangan untuk menaiki langit sampai langit ketujuh. Jika berhasil, dia akan menemukan dan memiliki Dulcinea yang cantik itu selamanya. Dengan menaiki kuda terbang, Den Kisot pergi ke langit, sambil diteriaki Sancho memberikan semangat dan do'a keberhasilan. Sayangnya Den Kisot tidak mampu menaiki sampai langit ke tujuh, ia jatuh dan akhirnya mati didekapan Sancho.

Setelah menonton pertujukan ini, aku pikir Den Kisot diciptakan untuk dihujat. Bahkan sampai akhir hayatnya pun, ia masih dikelilingi oleh orang yang menganggapnya majenun, Sancho sekalipun. Dan kini, aku pun ingin turut menghujatnya. Bagaimana bisa ia sangat mengedepankan khayalannya daripada realita? Padahal melawan sesuatu tidak hanya dengan cara perang saja—mungkin ya, saking tidak didengarnya kaum biasa ini maka perang adalah jalan satu-satunya untuk menyadarkan yang salah. Tapi semua akan sia-sia bukan jika khayalan lebih menguasai dirinya? Yang aku suka dari awal mengikuti karakter Den Kisot adalah ia seorang pria tua yang suka membaca dan imajinasinya yang (saat itu) aku berpikir bahwa imajinasinya akan membawa perubahan besar untuk negerinya tercinta. Apa daya ternyata, Den Kisot ini "hanya" sekadar mencintai buku dan khayalannya. Balik lagi pada topik bahwa melawan tak harus dengan perang. Melawan menurutku, Den Kisot bisa saja mengubah bentuk rasa pahlawannya dan kecintaan terhadap bukunya itu dengan cara menulis. Bahkan ia berhenti membaca saat buku-bukunya telah dibakar, ia sibuk berperang dan berkhayal dengan kincir angin yang ia kira raksasa pengancam desa. Juga, dipikir-pikir lagi kecintaan bacanya itu malah berubah menjadi obsesi yang tak berarti. Daya khayalnya tidak dibarengi dengan daya pikir. Ia memang dikenal dengan pahlawan bagi negeri dan kecintaan pada buku-buku. Tapi ia mati tanpa membuat perubahan untuk negeri tercintanya itu.

Walaupun begitu, cerita Den Kisot ini membawaku pada hal yang positif juga. Alur ceritanya sangat menarik ditambah lelucon sekaligus sindiran yang membuat penonton tertawa. Hal lainnya, kisah ini memberi ajakan untuk selalu membaca dan tidak berhenti melawan ketidakadilan. Imajinasi yang dimiliki setiap orang juga bukan sebuah hal yang tabu, aneh, atau berbahaya. Sebaliknya, imajinasi adalah sebuah anugerah sebagaimana sebagian manusia yang dibekali otak yang cerdas dan jenius—imajinasi akan selalu membawa perubahan yang tak terduga bahkan lebih cerdas dari orang yang punya IQ diatas 140.

Menariknya lagi, cerita ini juga menyelipkan beberapa isu sosial, politik bahkan agama. Seperti peristiwa sosial yang terjadi akhir-akhir ini, orang-orang yang masih menganggap bahwa buku adalah hal yang berbahaya karena mampu mendistraksi orang banyak. Seperti yang kita tahu, di negeri ini masih saja ada perlakuan razia buku padahal yang merazianya saja tidak tahu isi bukunya apa. Hehe. 

Isu politik juga jelas disampaikan melalui Den Kisot bahwa negeri ini tak butuh presiden, wakil, dan jajaran menteri yang mewah itu—kita sadar bahwa kita ini butuh seorang patriot, pahlawan yang melakukan segala sesuatunya dengan sukarela karena cintanya terhadap negeri bukan soal jabatan dan pulus melulu—sehingga sikap tamaklah yang menguasai negeri ini bukan cintanya lagi. Mereka yang berpakaian jas dan peci itu, telah lupa bahwa mereka sudah berperang dari waktu yang sangat lama dengan dirinya sendiri.

Selain itu, terdapat isu agama yang jelas adanya dalam dialog antara Den Kisot dan Sancho bahwa perbedaan agama tidak harus menjadi keributan. Semua orang mempunyai keyakinannya sendiri dan kita bisa menghormati itu. Bahkan hanya yakin terhadap diri sendiri pun adalah sebuah keyakinan yang paling nyata bukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments