Lawan dengan Imajinasi, Daya Hidup, dan Daya Cipta!

By pribadiprita - May 10, 2016


Judul Buku      : Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
Pengarang       : Puthut EA
Penerbit           : Buku Mojok
Cetakan           : II, Februari 2016
Tebal Buku      : xv + 179 halaman
Puthut EA, seorang sastrawan kelahiran tahun 1977, tidak diragukan lagi jika ia disebut sebagai penulis intelektual. Bagaimana tidak? Kemampuan menulis dari salah satu buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali, ia dapat menyampaikan beberapa pesan dan isu penting di Indonesia, yang masih belum terselesaikan dengan batin diri sendiri. Ia sampaikan itu dengan cara kepenulisan yang indah, begitu puitis, sederhana tapi tetap bermakna tajam.
Judul buku tersebut diambil dari salah satu cerpen yang menceritakan tentang seorang lelaki yang diduga membunuh bebek. Masyarakat menuduh hal tersebut yang hanya bermodalkan penglihatan saja. Mereka melihat lelaki itu usai bermain dengan ketapel yang menggantung di lehernya. Bersikukuh lelaki itu tidak membunuh bebek yang mati di pinggir kali, hanya dua orang yang mempercayainya saat itu, Bapak dan Buliknya (bibik). Seiring kematian bebek diikuti dengan tumbuh dewasanya lelaki ini, ia semakin banyak mengetahui dunia sekitar dan menjadi sangat membenci Bapaknya karena ia lahir dari seorang komunis dan dianggap berbahaya oleh khalayak. Situasi semakin memburuk saat Buliknya menghilang dan Bapaknya meninggal dunia, bahkan ia tidak mau bertemu  siapa pun selama beberapa tahun. Sampai pada suatu saat ia ingin mengunjungi ke pemakaman Bapaknya. Disinilah terjadilah sesuatu yang mencengangkan dan janggal dengan apa yang ia lontarkan dari setiap kata-katanya.
“Aku membunuhnya….”
Dengan jeda, ia melanjutkan.
“Aku membunuh bebek itu. Aku mengetapel tepat di kepala bebek itu. Aku melihatnya menggelepar…. Aku mendengar suara rintihannya….”
“Bebek itu…. Nasib burukku….”
Dari cerpen yang disuguhkan pada halaman pertama itu, Puthut sangat "cantik" mengungkapkan kebenaran dengan apa adanya tetapi tetap mencengang. Pembaca akan merasakan degup jantung karena kejutan yang hadir pada tiap cerita yang diungkapkan oleh Puthut. Dari cerpen pembuka ini, didapatkan bahwa bebek itu sebagai simbol karma yang menjadi awal keburukan hidup yang dialami oleh lelaki itu karena tidak mengaku atas kesalahannya. Ya, dalam prolog Silvya Tiwon juga disebutkan, “Beruang dan bebek tidak benar-benar berbicara seperti kancil, singa, gajah dan burung bayan (nuri) dalam cerita-cerita yang sudah kita kenal itu. Tetapi melalui makhluk tak berdosa, penulis mencipta kembali arus imajinasi belia yang pada setiap kelokan harus bergelut dengan wacana orang dewasa,…..”.
Terdapat lima belas cerpen yang sangat menarik dan penting diketahui dalam buku ini. Tidak hanya asal bercerita, Puthut juga mengajak untuk mengingatkan kembali peristiwa yang membawa luka, yang sampai sekarang menjadi sejarah. Seperti pada cerpen “Retakan Kisah” yang kental dengan peristiwa masa lalu penuh derita dan kekejaman. Cerita itu mengisahkan seorang perempuan berprofesi guru di sekolah. Ia diperiksa secara paksa, karena dianggap seorang komunis dan akan menyebarkan ajaran tersebut. Pemeriksaaan itu berlangsung secara tidak senonoh dengan lontaran kata kasar, kekerasan sampai pelecehan seksual oleh para petugas polisi. Setelah dimasukkan ke penjara pun, ia diperlakukan keji oleh para lelaki dengan pelecehan seksual dan didokumentasikan! Dengan pengungkapan kekerasan yang begitu detail, pembaca akan ikut merasakan dendam, haru, merasa tidak tahan atas perlakuan tak terhormat para lelaki itu. Spontan kita ikut setuju pada harapan sang wanita ini yang penuh rasa benci, trauma dan dendam. Campur aduk.
“Sampai sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin tahu, seperti apa itu, dan apa yang dilakukan Tuhan pada orang-orang itu…”
Selain mengingat peristiwa keji itu, Puthut tampak mengajak melakukan perlawanan seperti pada cerpen “Rahasia Telinga Sastrawan Besar” dan “Berburu Beruang”. Pada cerpen yang pertama menunjukkan bahwa sang sastrawan adalah sosok misterius, seseorang mempertanyakan apakah telinganya benar-benar rusak atau hanya bentuk perlawanan terhadap rezim yang mencoba menggulungnya. Setiap apa yang ditanyakan oleh rezim itu, sang sastrawan ini selalu merespon: “Keraskan suaramu! Telingaku tidak bisa mendengar dengan baik karena dipopor oleh tentara!” Akhirnya, rahasia ini membuka celah untuk terbongkar sampai pada kesimpulan :
“Dia melawan bukan hanya dengan tulisan-tulisannya, dengan buku-bukunya. Dia melawan bahkan dengan tubuhnya! Ia membuat sebuah drama!” Tetapi tetap saja tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya karena sastrawan itu telah menghadap Tuhan.
Sementara pada cerpen yang kedua bentuk ajakan perlawanan oleh Puthut sangatlah jelas.
“Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukan!”
Dari semua cerpen yang ada di buku ini, dominan mengandung kisah perlawanan, keterbukaan terhadap perspektif kehidupan, dan misteri kehidupan sesorang. Cerita-cerita yang disuguhkan berbeda dari penulis cerpen lainnya. Puthut mampu berimajinasi melalui cerita yang menyelipkan isu penting. Ia membuat sebuah cerita sederhana dan ringan tetapi tetap menggugah pembaca dengan perasaan yang campur aduk. Ia juga mampu mengajak pembaca untuk mencari tahu akar permasalahan dari setiap cerita.
Selebihnya, Puthut mengajak pembaca mendalami suatu peristiwa yang sudah terjadi yang menimbulkan perasaan perlawanan dengan tiga modal: imajinasi, daya hidup dan daya cipta!
Senada dengan epilog Aan Mansyur di buku ini, strategi yang ia tempuh dalam buku ini membuat kita ingin berteriak keras. “Seperti mengeluarkan dendam, seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan…..”.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di isolapos.com dan telah mengalami penyuntingan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments